Sunday 13 April 2008

Tentang Saya

Nama saya Kaca. Kebanyakan orang memang menemukan nama saya unik, tidak biasa, dan setiap orang memiliki respon mereka masing-masing. Sebagian tercengang atau kebingungan, sebagian tertawa dengan nada tidak percaya, sebagian memuji. Apapun yang terjadi, selama hidup saya, hubungan antara saya dan nama saya memang dapat dikatakan ‘a love-hate relationship’. Saat saya kecil, saya sering sebal karena nama saya sering dijadikan candaan tetapi sekarang saya malah bersyukur dan menganggap nama saya suatu berkah. Nama ‘Kaca’ selalu gampang diingat dan sulit dilupakan kebanyakan orang.

Saya lahir pada jam 11.25 tanggal 28 Februari 1989 di kota Bandung. Saya diberi nama Amirah Kaca yang merupakan hasil kolaborasi ide antara Kakek, Nenek, Ibu dan Ayah saya. Ayah saya adalah orang paling optimis yang berprinsip dasar joie de vivre. Ibu saya, sebaliknya, adalah seseorang yang reaktif dan gampang khawatir tetapi meskipun begitu beliau adalah seseorang yang telah mencapai banyak hal (over-achiever). Saya memiliki tiga adik perempuan yang membuat persaudaraan kami seperti cerita “Little Women” yang ditulis oleh Louisa May Allcott. Keluarga kami juga memiliki ‘anggota tambahan’, yaitu dua ekor kelinci bernama Bon-Bon dan Mocca, serta satu akuarium yang diisi oleh banyak ikan air tawar (karena banyak dan kecil-kecil tidak ada satupun dari ikan tersebut yang diberi nama).

Saya melewati masa-masa Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) seperti kebanyakan anak-anak lainnya. Saya juga melewati Sekolah Menengah Pertama (SMP) seperti remaja lainnya. Namun saya merasa bahwa hidup saya baru dimulai dan karakter saya mulai berkembang saat saya pindah untuk tinggal di Adelaide, Australia Selatan pada umur tiga belas tahun. Pindah untuk tinggal di benua lain, di negara lain yang sangat berbeda dengan Indonesia merupakan pembelajaran saya tentang hidup yang paling pertama.

Dengan tinggal di Adelaide, saya mendapatkan banyak pengalaman berharga yang tidak bisa ditukarkan dengan apapun. Saat saya baru pindah, saya masuk ke sebuah sekolah internasional bernama “Adelaide Secondary School of English”. Untuk dapat berada di sebuah sekolah internasional dimana semua ras dan kebangsaan berbaur membuka mata saya dan mengenalkan saya kepada dunia yang baru. Selain mendapatkan kemampuan untuk mengucapkan “Halo, apa kabar?” dalam lebih dua puluh bahasa, saya dapat memahami secara langsung kultur-kultur negara lain yang sebelumnya tidak dapat saya bayangkan. Saya belajar banyak dari teman-teman pengungsi dari Sudan maupun Bosnia yang pindah sejauh mungkin untuk kembali membangun hidup setelah meninggalkan peristiwa menyakitkan yang terjadi di negara asal mereka atau dari banyak teman-teman imigran yang oran tuanya beradu nasib untuk mendapatkan hidup yang lebih baik dari sebelumnya. Setelah setengah tahun, saya pindah sekolah ke “Aberfoyle Park High School” yang merupakan sekolah mainstream yang terletak di suburb kawasan Selatan. Meskipun sekolah ini tidak memiliki keanekaragaman kultur dan kebangsaan (kebanyakan muridnya adalah warga Australia asli), saya merasa sangat senang berada disana karena saya dapat berbagi banyak tentang kultur Indonesia dengan banyak teman-teman sekolah dan membuat mereka tertarik dengan Indonesia.

Pada umur lima belas tahun, saya memulai pekerjaan saya yang pertama. Saya bekerja untuk Peregrine Corporation, sebuah perusahaan franchise yang mengelola banyak pom bensin beserta food-court. Untuk hampir satu tahun, saya bekerja paruh waktu sebagai shop-assistant yang harus melayani pembeli dengan ramah dan senyum yang hangat setiap saat dari belakang counter dan mesin kasir. Di tempat kerja, saya belajar banyak tentang kerja keras dan kedisiplinan. Selain itu saya membentuk banyak pertemanan baru sembari bekerja, tidak hanya dengan sesama rekan kerja tetapi juga dengan para pelanggan yang sering saya layani. Saya bekerja secara loyal dengan Peregrine Corporation selama hampir satu tahun lalu saya memutuskan untuk mencari pekerjaan baru dengan maksud untuk mengembangkan diri lebih jauh. Setelah melewati beberapa tahap interview, saya akhirnya diterima sebagai retail team-member di sebuah franchise Boost Juice-Bar. Boost Juice Bar merupakan suatu tempat kerja yang hip, keren, dan menyenangkan karena suasana kerja dibuat kasual dan tidak formal. Di Boost Juice Bar saya lebih banyak tidak hanya tentang team-work dan kerja sama tetapi juga tentang bagaimana menciptakan lingkungan kerja yang efektif dan efisien.

Empat tahun hidup saya dijalani di Australia dan selama empat tahun itu saya merasa saya berkembang secara pesat. Meskipun pada awalnya saya kurang suka ide untuk kembali ke Indonesia, ternyata segala keraguan dan ketakutan saya jauh lebih kecil dibandingkan rasa kehilangan saya akan tanah air. Saya pun meninggalkan satu kehidupan yang untuk membangun kembali satu yang baru di tempat yang pernah saya tinggalkan. Saya kembali pada bulan Desember 2005 dan hanya memiliki enam bulan untuk persiapan SPMB. Pada awalnya saya merasa kesusahan karena pelajaran yang saya pelajari di Australia memiliki standar yang jauh lebih mudah dibandingkan materi-materi pelajaran di kurikulum Indonesia. Saat itu hanya enam bulan waktu yang tersisa dan saya belum belajar tentang integral dan sebagian besar materi fisika belum saya dapat, belum lagi materi tentang Bahasa Indonesia yang sudah terlupakan. Terkadang saya menyesali kepulangan saya ke Indonesia tetapi untungnya saya tidak menyerah sehingga saya bisa mengejar berbagai macam ketinggalan hingga akhirnya berhasil masuk program studi Teknik Industri ITB.

Saya adalah seseorang yang benar-benar percaya bahwa buku adalah lebih dari sekumpulan kertas-kertas karena buku memiliki pemikiran yang hidup; yang tertera di halaman-halaman. Karena itu saya merasa bahwa filosofi dan tujuan hidup saya berkaitan erat dengan buku-buku yang saya baca. Salah satu buku yang sangat mempengaruhi saya adalah Toto-Chan. Pertama kali saya membaca Toto-Chan adalah saat saya berumur delapan atau sembilan tahun. Toto-Chan bercerita tentang seorang anak perempuan Jepang yang nakal di sebuah sekolah yang sangat spesial karena sekolah yang baru ini mengajarkan banyak hal sederhana tentang kehidupan dan kebaikan yang seringkali terabaikan oleh kebanyakan sekolah yang berpatok pada kurikulum pendidikan standar. Toto-Chan merupakan suatu kisah nyata saat sang penulis (Tetsuko Kuroyagi) masih kanak-kanak pada masa Perang Dunia ke dua. Hal-hal yang Toto-Chan pelajari tentang kejujuran, kebaikan dan toleransi seperti yang dituliskan di buku merupakan sesuatu yang juga saya resapi saat saya membacanya. Hal-hal tersebut masih saya ingat sampai sekarang. Selain Toto-Chan, buku yang sangat influensial dalam hidup saya adalah “To Kill a Mockingbird” oleh Harper Lee. Buku ini adalah salah satu pemenang Putlizer Award dan saya rasa merupakan buku yang harus dibaca setiap orang setidaknya sekali dalam hidupnya. “To Kill a Mockingbird” bercerita tentang bagaimana ketidakadilan terjadi pada kaum kulit hitam Amerika pada tahun 1936 di negara bagian Alabama. Buku ini sangat menyayat hati karena akhirnya yang tragis dan ironis. Ceritanya selalu mengingatkan saya akan prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan, serta toleransi. Satu kalimat bijak yang saya selalu ingat dari buku ini adalah, “You never really know a man until you stand in his shoes and walk around in them!”

Saya memiliki cita-cita yang sangat global, yaitu “world peace” atau perdamaian dunia. Mungkin memang terdengar sedikit bodoh dan dangkal seperti yang terlihat di film komedi “Miss Congeniality”. Akan tetapi saya percaya bahwa “world peace” bukanlah suatu cita-cita yang bodoh, karena tidak ada yang lebih baik di dunia ini dari ketentraman, kebahagiaan, dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Memang tidak ada seseorang pun yang dapat mengubah seluruh dunia, tetapi satu orang tentu dapat mengubah suatu bagian dari dunia. Sampai saat ini saya masih memperjuangkan harapan masa kecil saya yaitu untuk membuat dunia ini tempat yang lebih baik . Bukankah semua orang juga ingin melakukan hal yang serupa?


Essay diatas sebenarnya ditulis sebagai salah satu persyaratan untuk mencalonkan diri menjadi senator. Kata teman-teman saya, membaca tulisan diatas seperti membaca chick-lit (karena sebenarnya tulisan diatas pertama-tama ditulis dalam bahasa Inggris baru di-translate). Ada juga yang bilang lebih persis seperti application essay untuk Miss Indonesia atau beauty pageant daripada essay pencalonan diri senator (mungkin karena embel-embel world peace-nya). Tapi semua orang berkata bahwa "This essay is you, Kaca!". So this is me, and this is the way I am :)

3 comments:

Unknown said...

ditaro juga hahaha...
abis ini nyalon jadi puteri indonesia sekalian :P

Ghani said...

waw...
kaca!

heu..heu..keren bgt...
kamu itu orang yang 'dibentuk' dan bisa 'membentuk' diri dengan baik ya...

iraa said...

hihih... inilah ca.. kalo emang hidup lo seperti chick lit..yah beginilah. hehe. kaca.. post juga dong yg bahasa inggrisnya.. trus kirim deh ke miss indonesia. hehe